Salam Sehat,
Masyarakat awam pada umumnya jika ditanya siapa saja yang berisiko tertular HIV/AIDS, biasanya akan menjawab pekerja seks komersial, mereka yang sering melakukan seks bebas dan sering berganti pasangan, atau bisa juga mereka yang membuat tatto atau tindik di tempat yang tidak steril. Namun, bahwa ada golongan lain yang memiliki risiko tertular HIV sama seperti kelompok yang rentan terhadap HIV?
Ibu rumah tangga
Secara mengejutkan, saat ini tidak sedikit jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV. Seperti dikutip dari Jakarta Globe, Emi Yuliana dari Komisi Pencegahan AIDS Surabaya menyatakan bahwa terjadi peningkatan kasus atau tren ibu rumah tangga yang terkena HIV/AIDS.
Dibandingkan dengan kelompok PSK, jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS mengalami peningkatan yang lebih drastis. Ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya intervensi terhadap pencegahan penyebaran HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Berbeda dengan pencegahan HIV/AIDS pada pekerja seks komersial yang lebih digalakkan. Menurut Kepala Badan Penanggulangan AIDS Daerah Bogor, pada tahun 2016 sekitar 60% dari penderita HIV/AIDS di Kota Bogor adalah ibu rumah tangga.
Pencegahan penyebaran HIV pada ibu rumah tangga menemui kendala karena kebanyakan ibu hamil ataupun yang hendak menjalankan program hamil menolak untuk menjalani tes HIV/AIDS. Penolakan ini terjadi biasanya karena merasa malu, tabu, atau merasa baik dirinya maupun pasangannya tidak pernah berhubungan seksual dengan orang lain. Hanya ada kurang dari 10% yang bersedia menjalankan tes HIV setelah menikah.
Jika melakukan tes HIV dianggap tabu, maka ibu rumah tangga dapat mencoba menggunakan kartu skor yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait pekerjaan dan aktivitas seksual baik aktivitas seksual individu maupun pekerjaan dan aktivititas seksual pasangan. Sebagai contoh, jika pasangan Anda bekerja sebagai supir lintas provinsi dan jarang pulang ke rumah, maka Anda berada pada kelompok berisiko dan dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut termasuk tes darah jika diperlukan.
Petugas kesehatan
Mereka yang bekerja pada sektor kesehatan seperti misalnya dokter, perawat, petugas laboratorium, hingga petugas pembersih limbah fasilitas kesehatan juga berpotensi tertular HIV yang berasal dari pasien. Darah dari pasien yang positif HIV dapat menularkan HIV kepada petugas kesehatan tersebut melalui luka terbuka. Misalnya pekerja yang memiliki luka terbuka kemudian mengambil darah pasien yang positif HIV, maka bukan tidak mungkin jarum suntik atau benda tajam lainnya dapat menjadi perantara dan mentransfer HIV. Ada beberapa cara HIV dapat ditularkan ke petugas kesehatan, yaitu:
- Jika jarum suntik yang telah dipakai oleh pasien positif HIV tidak sengaja tertancap ke petugas kesehatan (disebut juga needle-stick injury)
- Jika darah yang terkontaminasi HIV mengenai membran mukosa seperti misalnya mata, hidung, dan mulut.
- Jika darah yang terkontaminasi HIV mengenai luka terbuka.
Penularan HIV kepada petugas kesehatan dapat dicegah dengan cara:
- Gunakan pelindung diri seperti masker, baju khusus rumah sakit, goggle atau kacamata khusus, dan sarung tangan.
- Selalu tutup luka terbuka dengan plester atau perban.
- Selalu berhati-hati jika menangani benda-benda tajam.
- Buang limbah rumah sakit yang berpotensi mentransfer HIV (seperti jarum suntik misalnya) ke tempat sampah yang solid atau keras, tidak hanya di dalam plastik saja karena ujung jarum suntik yang tajam bisa saja menyembul keluar.
- Bersihkan darah yang berceceran sesegera mungkin.
- Selalu cuci tangan menggunakan cairan pembersih setelah melakukan kontak dengan pasien terutama jika terkena darah pasien.
Bayi
Ini mungkin sudah tidak terlalu asing bagi Anda. Ibu hamil yang menderita HIV dapat menularkan virus tersebut kepada bayinya. Penularan ini dapat terjadi ketika bayi masih di dalam janin, ketika proses kelahiran, dan ketika menyusui. Penularan dari ibu ke bayi ini adalah penyebab paling sering mengapa anak-anak terkena HIV/AIDS.
Penularan HIV dari ibu ke bayi sebenarnya bisa dicegah, jika:
- Perempuan yang mengidap HIV mendapatkan pengobatan HIV selama kehamilan dan saat proses melahirkan atau secara khusus menjadwalkan kelahiran melalui operasi caesar. Operasi caesar menimalisir kemungkinan cairan-cairan tubuh ibu menginfeksi bayi saat proses kelahiran berlangsung.
- Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita HIV kemudian diberi obat HIV selama 6 minggu setelah lahir dan tidak diberi ASI. Di Amerika Serikat, ibu yang menderita HIV dianjurkan untuk tidak menyusui bayinya dan mengganti ASI dengan susu formula sebagai salah satu pilihan untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi.
Obat-obatan HIV mengurangi jumlah virus HIV dalam tubuh. Berkurangnya jumlah virus ini secara langsung dapat menurunkan kemungkinan ditularkannya HIV kepada bayi baik selama di dalam kandungan maupun saat proses kelahiran.
Sebagian kecil dosis dari obat-obatan juga kemudian dapat diteruskan ke bayi melalui plasenta. Ini dapat melindungi bayi dari infeksi HIV terutama saat proses kelahiran normal karena proses kelahiran melalui jalur vaginal mengekspos bayi terhadap cairan tubuh ibu yang membawa virus HIV.
Sumber : HelloSehat, WHO